Tag Archive | disabilitas

Disabilitas

Disabilitas(dalam bahasa Inggris yaitu disability) mempunyai arti cacat. Disabilitas dapat bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa kombinasi dari ini. Terminologi Disabilitas dipergunakan sebagai pengganti istilah Penyandang Cacat. Sejarah dan alasan pergantian istilah ini akan dibahas dalam kesempatan yang terpisah.

Klasifikasi Disabilitas

Tipe

Nama

Jenis disabilitas

Pengertian[1]

A

tunanetra

disabilitas fisik

tidak dapat melihat; buta

B

tunarungu

disabilitas fisik

tidak dapat mendengar; tuli

C

tunawicara

disabilitas fisik

tidak dapat berbicara; bisu

D

tunadaksa

disabilitas fisik

cacat tubuh

E1

tunalaras

disabilitas fisik

cacat suara dan nada

E2

tunalaras

disabilitas mental

sukar mengendalikan emosi dan sosial.

F

tunagrahita

disabilitas mental

cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot

G

tunaganda

disabilitas ganda

penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

A.Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).

B.   Tunarungu

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun  tidak permanen.

Tunarungu atau tuli dalam kedokteran dibagi atas 3 jenis:

1.       Tunarungu/Gangguan Dengar Konduktif adalah gangguan dengar yang disebabkan kelainan di telinga bagian luar dan/atau telinga bagian tengah, sedangkan saraf pendengarannya masih baik, dapat terjadi pada orang dengan infeksi telinga tengah, infeksi telinga luar atau adanya serumen di liang telinga.

2.       Tunarungu/Gangguan Dengar Saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar akibat kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan di telinga bagian luar atau tengah.

3.       Tunarungu/Gangguan Dengar Campuran yaitu gangguan yang merupakan campuran kedua jenis gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di telinga bagian luar dan tengah juga mengalami gangguan pada saraf pendengaran.

 Sedangkan klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:

1.       Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),

2.       Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),

3.       Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),

4.       Gangguan pendengaran berat(71-90dB),

5.       Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB).

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

      C.  Tunawicara

      Tunawicara, bisu, atau gangguan bicara adalah ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb.

D.  Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

E.   Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.

Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.

Klasifikasi anak tunalaras

Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
    1. The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
    2. Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
    3. Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
  2. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
    1. neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
    2. children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan

F.      Tunagrahita

Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

Tunagrahitamerupakan keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:

  1. Lemah pikiran (Feeble Minded)
  2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
  3. Bodoh atau dungu (Idiot)
  4. Pandir (Imbecile)
  5. Tolol (Moron)
  6. Oligofrenia (Oligophrenia)
  7. Mampu Didik (Educable)
  8. Mampu Latih (Trainable)
  9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
  10. Mental Subnormal
  11. Defisit Mental
  12. Defisit Kognitif
  13. Cacat Mental
  14. Defisiensi Mental
  15. Gangguan Intelektual

Klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ.

  1. Tunagrahita ringan (IQ : 51-70),
  2. Tunagrahita sedang (IQ : 36-51),
  3. Tunagrahita berat (IQ : 20-35),
  4. Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).

Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.

G.     Kesulitan belajar

Adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.

Sumber  Wikipedia bahasa Indonesia

Istilah Penyandang Disabilitas Sebagai Pengganti Penyandang Cacat

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2011, Ratifikasi Konvensi Tentang Hak Penyandang Disabilitas resmi disyahkan.

Berawal dari informasi bahwa Draf Konvensi Internasional Dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak dan Martabat Penyandang Cacat sudah diterima ditataran Dewan HAM PBB. Kemudian diajukan ke Majelis Umum PBB untuk diadopsi Majelis Umum PBB dalam sidangnya 13 Desember 2006.

Konvensi tersebut dibuat untuk penandatangan sampai dengan tanggal 30 Maret 2007, dan akan mulai berlaku setelah diratifikasi atau diaksesi oleh sekurang-kurangnya 20 negara. Komnas HAM berinisiatif untuk proaktif segera mengundang stakeholders dari organisasi kecacatan untuk segera membuat langkah kerja yang efektif guna mendukung upaya nasional agar negara dalam hal ini Pemerintah RI ikut serta dengan negara lain manandatangani konvensi tersebut pada 30 Maret 2007.

Pada Februari 2007 Komnas HAM membuat kegiatan Mendorong Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Cacat di Yogyakarta dengan mengundang semua stakeholders, Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Luar Negeri (Deplu). Dari kegiatan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain, menyambut baik inisiatif Komnas HAM untuk mendorong Pemerintah RI ikut menjadi penandatanganan konvensi tersebut sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Kemudian semua pihak berbagi peran menyosialisasikan isi konvensi kepada semua pihak khususnya rekan-rekan penyandang cacat.

Komnas HAM bersama kementerian terkait terus melakukan pertemuan-pertemuan dan berkoordinasi untuk terus mendorong dan melakukan penguatan terhadap organisasi kecacatan untuk terus mengawal proses penandatangan konvensi tersebut oleh Pemerintah RI sebagai pemangku kewajiban.

Dalam merespon upaya ratifikasi, Komnas HAM membentuk Tim Kajian Konvensi PBB untuk Penyandang Cacat yang terdiri dari Komnas HAM: Yossa Nainggolan dan Andrie Wahyu Cahyadi; Dosen Universitas Atmajaya Yogyakarta: Sundari; PPCI: Maulani Rotinsulu dan Happy Sebayang. Tim bertugas membuat Draf Naskah Akademis “Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas) dan selesai pada November 2007. Kementerian Sosial selaku leading sector menindaklanjuti naskah akademis tersebut untuk di sempurnakan.

Upacara penandatanganan awal konvensi yang berlangsung pada 30 Maret 2007, terdapat 82 penandatangan konvensi, termasuk Indonesia yang berada pada urutan ke-9. Sampai saat ini terdapat 173 negara anggota PBB yang telah menandatangani konvensi tersebut. Setelah penandatangan konvensi tersebut ternyata masih ada permasalahan soal penggunaan terminologi “Penyandang Cacat”. Secara filosofis dan yuridis Draf Naskah Akademis dan RUU Pengesahan butuh terminologi yang disepakati para pemangku kepentingan.

Berdasarkan kebutuhan semua organisasi bahwa istilah penyandang cacat harus diganti karena istilah tersebut mengandung nilai yang cenderung membentuk makna negatif. Penyandang cacat dianggap sebagai sekumpulan orang yang tidak berdaya, tidak berkemampuan dan menyandang masalah karena ‘tercela’ atau cacat. Berangkat dari kondisi tersebut, perlu sebuah rekonstruksi istilah ‘penyandang cacat’ dengan cara partisipatif untuk menghasilkan istilah baru yang paling sesuai dan akomodatif bagi semua pihak.

Lalu, Komnas HAM bekerja sama dengan Departemen Sosial dan lembaga terkait menggelar Semiloka Terminologi “Penyandang Cacat” Dalam Rangka Mendorong Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Penyandang Cacat pada 8-9 Januari 2009 di Gedung Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Binda Daksa (BBRVBD), Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Semiloka tersebut berhasil menyepakati 9 terminologi sebagai pengganti istilah penyandang cacat.

Setelah itu Komnas Ham menggelar “Diskusi Pakar Untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” pada 19 – 20 Maret 2010 di Jakarta. Diskusi dihadiri oleh pakar hukum, pakar bahasa, pakar komunikasi, pakar filsafat, pakar HAM, pakar penyandang cacat, pakar psikologi, pakar isu kelompok rentan, perwakilan kementerian sosial, Komisioner Komnas HAM. Hasil diskusi terfokus berhasil menemukan dan menyepakati terminologi penyandang disabilitas sebagai pengganti istilah penyandang cacat.

Terminologi penyandang disabilitas terpilih karena alasan sebagai berikut:

  1. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut.
  2. Mendeskripsikan fakta nyata.
  3. Tidak mengandung unsur negatif.
  4. Menumbuhkan semangat pemberdayaan.
  5. Memberikan inspirasi hal-hal positif.
  6. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah.
  7. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian.
  8. Dapat diserap dan dimengerti oleh berbagai kalangan secara cepat.
  9. Bersifat representatif, akomodatif, dan baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi
  10. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis
  11. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional
  12. Memperhatikan perspektif linguistik.
  13. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
  14. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.
  15. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan.
  16. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Setelah itu, istilah baru tersebut dipromosikan dan disebarluaskan oleh Komnas HAM, Kementerian Sosial dan para pihak terkait ke masyarakat umum, terutama kalangan penyandang disabilitas. Ternyata upaya penyebarluasan tersebut cukup berhasil. Terbukti saat pengesahan Ratifikasi Hak Penyandang Disabilitas, istilah penyandang disabilitas sebagai pengganti penyandang cacat sama sekali tidak dipersoalkan oleh para anggota DPR RI. Istilah penyandang disabilitas pelan tapi pasti bisa diterima dan diserap oleh masyarakat Indonesia. Apalagi saat ini sejumlah media massa (cetak, elektronik, online) sudah mulai terbiasa menggunakan istilah penyandang disabilitas sebagai pengganti istilah penyandang cacat. Selain itu dengan adanya pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas maka itu berarti negara mengakui penggunaan istilah penyandang disabilitas sebagai bahasa baku di lembaran negara, peraturan-peraturan dan perundang-undangan di Indonesia.

Semoga dengan pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, negara dalam hal ini pemerintah mampu mengedepankan pemenuhan HAM penyandang disabilitas. Dibutuhkan political will yang kuat dari para pemimpin bangsa dan pembuat kebijakan agar pengesahan ini bukan sekedar untuk memperkuat kedudukan Indonesia dalam pergaulan internasional atau sekedar melengkapi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Pemerintah harus mempunyai standar yang baku dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Pemerintah harus terus memperkuat isu disabilitas sebagai bagian integral dalam strategi pembangunan berkelanjutan dan pembangunan sosial.

Dengan pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabiltas maka UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat sudah sangat ketinggalan — tidak “up to date” –, tidak akomodatif terhadap peningkatan harkat dan martabat penyandang disabilitas, tidak berperspektif HAM dan memosisikan penyandang disabilitas sebagai obyek bukan subyek yang sebenarnya memiliki kreativitas dalam pengembangan karakter. Komnas HAM sekarang sedang memproses Draf Naskah Akademis dan Draf RUU Penyandang Disabilitas yang sedang tahap finalisasi dan mungkin dalam waktu dekat sudah dapat kami selesaikan. Agar proses penggantian Undang-Undang No.4 tahun 1997 segera dapat cepat terlaksana kami butuh kontribusi semua pihak agar hasilnya lebih sempurna.

 

Sumber.www.komnasham.or.id